OTT KPK-RI Terhadap Gubri Abdul Wahid Diduga Langgar KUHAP

NASIONAL, Tuahkarya.com- Aktivis antikorupsi Bobson Samsir Simbolon, yang juga dikenal sebagai narasumber penyuluhan pencegahan korupsi, angkat bicara soal Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Provinsi Riau.
‎Menurut Bobson, OTT yang kemudian menyeret nama Gubernur Riau Abdul Wahid tersebut diduga melanggar ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Catatan Kritis Bobson Samsir Simbolon
‎Indonesia sempat dihebohkan oleh kegiatan OTT KPK di Kota Pekanbaru pada Senin, 3 November 2025. Sehari kemudian, Gubernur Riau Abdul Wahid dibawa ke Gedung Merah Putih KPK di Jakarta.
‎Pada 5 November 2025, KPK menggelar konferensi pers dan mengumumkan tiga orang tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan oleh penyelenggara negara.
‎Bobson menyoroti bahwa pernyataan yang disampaikan oleh pimpinan KPK, Yohanis Tanak, dalam konferensi pers tersebut menyisakan sejumlah kejanggalan, khususnya terkait prosedur penangkapan.
Empat Syarat Tangkap Tangan Menurut KUHAP
‎Bobson menjelaskan, kegiatan tangkap tangan harus tunduk pada Pasal 1 angka (19) dan Pasal 102 ayat (2) KUHAP. Berdasarkan ketentuan tersebut, seseorang dapat dikatakan tertangkap tangan apabila:
‎1. Sedang melakukan tindak pidana;
‎2. Sesaat setelah melakukan tindak pidana;
‎3. Sesaat setelah khalayak ramai menyerukan bahwa orang tersebut pelaku tindak pidana; atau
‎4. Sesaat kemudian ditemukan benda yang diduga keras digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut.
‎Menurut Bobson, dalam konferensi persnya KPK tidak menjelaskan secara jelas di mana, pada jam berapa, dan dalam peristiwa apa para tersangka MAS, FRY, serta sejumlah Kepala UPT ditangkap.
‎Sementara untuk Abdul Wahid dan TM, KPK sempat menjelaskan lokasi penangkapan, namun kemudian meralat informasi tersebut karena terjadi kesalahan data.
Tidak Jelasnya Unsur “Tertangkap Tangan”
‎Bobson menilai, ketidakjelasan lokasi dan waktu tangkap tangan menjadi hal krusial karena menentukan sah atau tidaknya proses OTT itu sendiri.
‎Lebih lanjut, masyarakat juga mengetahui bahwa Abdul Wahid dan TM berada di tempat berbeda dari MAS, FRY, dan para Kepala UPT saat OTT dilakukan. Uang tunai sebesar Rp800 juta yang disebut-sebut dalam perkara itu pun tidak ditemukan dari diri Abdul Wahid.
‎KPK hanya menyebut adanya sejumlah mata uang asing di rumah dinas Abdul Wahid di Jakarta Selatan. Namun menurut Bobson, uang asing tersebut tidak bisa dianggap sebagai barang bukti hasil pemerasan karena ditemukan di tempat terpisah dan dalam jumlah yang wajar bagi seorang gubernur yang juga mantan anggota DPR RI.
Dugaan Bukan Peristiwa Nyata
‎Dalam konferensi persnya, KPK menyebut Abdul Wahid diduga menerima uang dari MAS melalui DNS pada bulan Juni dan Agustus 2025.
‎Bobson menegaskan, hal ini menunjukkan bahwa pada saat OTT dilakukan, Abdul Wahid tidak sedang atau tidak sesaat setelah menerima uang tersebut. Artinya, tindakan OTT terhadap Abdul Wahid tidak memenuhi unsur “tertangkap tangan” sebagaimana diatur KUHAP.
‎Jika benar penyerahan uang terjadi beberapa bulan sebelumnya, maka penangkapan seharusnya dilakukan melalui proses penyidikan biasa, bukan dalam bentuk OTT.
‎Berdasarkan uraian tersebut, Bobson menyimpulkan bahwa seluruh tindakan KPK terhadap Abdul Wahid pada 3 November 2025 tidak sah secara hukum karena melanggar Pasal 1 angka (19) dan Pasal 102 ayat (2) KUHAP.
‎"Kegiatan OTT yang dilakukan KPK terhadap Gubernur Riau tidak memenuhi unsur tertangkap tangan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Maka, secara hukum, tindakan tersebut tidak sah,” tegas Bobson.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel